BUDIDAYA TANAMAN INDUSTRI
TUGAS
BUDIDAYA TANAMAN INDUSTRI
DAMPAK/PERMASALAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN SOLUSI
PERMASALAHAN
DISUSUN OLEH :
Suci Maulidya Arba 20140220181
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Lingkungan
Hidup di Indonesia menyangkut tanah, air, dan udara dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup tersebut merupakan wadah
tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Media lingkungan hidup yang sehat,
akan melahirkan generasi manusia Indonesia saat ini serta generasi akan datang
yang sehat dan dinamis.
Kerusakan
lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi pada berbagai tempat dan
berbagai tipe ekosistem. faktor faktor pengganggu terhadap lingkungan hidup
menyebabkan terganggunya kelestarian fungsi lingkungan hidup seperti menurunnya
daya dukung dan daya tampung lingkungan serta meningkatnya kejadian bencana
alam yang pada akhirnya bermuara pada menurunnya kualitas kehidupan manusia
baik generasi masa kini maupun masa depan. Misalnya, pada ekosistem
pertanian/perkebunan, pesisir dan lautan. Ancaman kepunahan satwa liar juga
telah terjadi pada pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit pada lahan hutan.
Pembangunan
perkebunan kelapa sawit membawa dampak terhadap masyarakat sektar. Dampak
tersebut dapat berupa dampak positif bagi ekonomi, sosial dan pendidikan,
seperti terbukanya lapangan kerja bagi warga sekitar pabrik, perbaikan dan
pembangunan infrastruktur penunjang bagi perusahaan dan masyarakat seperti jalan
dan fasilitas kesehatan, dan pabrik sebagai sarana penelitian. Namun disamping itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit membawa dampak
negatif.
Ekspansi
perkebunan kelapa sawit yang terjadi besar-besaran di Indonesia memiliki
pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang menjadi
basis berkembangnya perkebunan seperti Sumatera dan Kalimantan. Banyak
penduduk di dua pulau besar ini menilai bahwa deforestasi yang terjadi di
wilayah mereka akibat adanya pembukaan lahan untuk perkebunan. Deforestasi ini
dinilai dapat menghilangkan fungsi hutan serta merusak ekosistem dan
keanekaragaman hayati yang ada akibat penggundulan. Padahal hal ini dapat
disiasati dengan pengelolaan lingkungan dengan baik dengan tetap mengikuti
standar pengelolaan yang tidak merusak lingkungan
Perkembangan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami mengingkatan yang sangat
signifikan. Hal ini disebabkan tingginya permintaan atas Crude Palm Oil (CPO)
sebagai sumber minyak nabati dan penyediaan untuk biofuel. Pengembangan
perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak
ekologi perkebunan kelapa sawit adalah meningkatkan level CO2 (karbon
diokasida) di atmoster, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan
hujan tropis, serta plsama nutfah, hilangnya sejumlah sumber air, sehingga
memicu kekeringan, peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong
terjadinya bencana alam, berkurangnya kawasan resapan air, sehingga pada musim
hujan akan mengakibatkan banjir karena lahan tidak mempunyai kemampuan menyerap
dan menahan air, kehancuran habitat flora dan fauna yang mengakibatkan konflik
antar satwa, maupun konflik satwa dengan manusia. Akibat habitat yang telah
rusak, hewan tidak lagi memiliki tempat yang cukup untuk hidup dan berkembang
biak.
B. Rumusan Masalah
- Apa Dampak positif perkebunan kelapa sawit?
- Apa Dampak negatif perkebunan kelapa sawit?
- Bagaimana cara mengatasi permasalahan pada perkebunan kelapa sawit?
C. Tujuan
- Mengetahui dampak positif perkebunan kelapa sawit.
- Mengetahui dampak negatif perkebunan kelapa sawit.
- Mengetahui cara mengatasi permasalahan pada perkebunan kelapa sawit.
PEMBAHASAN
A.
Dampak
Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
Pengembangan
perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak
positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat,
meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan pekerjaan,
meningkatkan produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan
konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain
dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara ekologis sistem
monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan,
hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama
nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan. Selain itu juga mengakibatkan
hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu kekeringan, peningkatan suhu,
dan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya bencana alam. Secara sosial juga
sering menimbulkan terjadinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat
sekitar baik yang disebabkan oleh konflik kepemilikan lahan atau karena limbah
yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit. Limbah yang dihasilkan oleh
industri kelapa sawit merupakan salah satu bencana yang mengintip, jika
pengelolaan limbah tidak dilakukan secara baik dan profesional, mengingat
industri kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil
pengolahan.
1.
Dampak Positif
a.
Pembangunan
Kelapa sawit adalah komoditas
primadona Indonesia sekarang ini. Ini dibuktikan dengan besarnya kontribusi
kelapa sawit terhadap ekspor, produk domestik bruto (PDB), peningkatan
pendapatan pekebun, penyerapan tenaga kerja. Produksi sawit Indonesia mencapai
17,4 juta ton dalam kawasan 6,7 juta hektar, dan ekspornya mencapai 11 juta ton
CPO (crude palm oil) senilai US$ 6,2 milyar, menjadikan Indonesia sebagai
produsen terbesar sawit di dunia. (Syahza ,2002)
Pembangunan
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan akan melibatkan pemerintah, investor,
masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Oleh karena
itu, perlu ada kemitraan antara ketiga pelaku (stakeholders) bisnis kelapa
sawit tersebut.
Kemitraan
pada dasarnya adalah kegiatan kerjasama usaha antara usaha kecil/pekebun dengan
usaha menengah dan/atau usaha besar sebagai mitra usaha disertai dengan
pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Meningkatnya pembangunan di daerah. Paling mencolok
adalah dibangunnya akses jalan dari perkebunan ke pusat kota yang juga bisa
dimanfaatkan oleh warga sekitar.
b.
Ekonomi
Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit memegang peran yang
cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah sebagai
sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak
goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus menerus mampu
menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu pula menciptakan
kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Pemerintah
Indonesia dewasa ini telah bertekad untuk menjadikan komoditas kelapa sawit
sebagai salah satu industri non migas yang handal. Pendapatan per kapita daerah
semakin naik. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya kebutuhan tenaga yang
diperlukan oleh suatu perkebunan kelapa sawit.
Bagi Pemerintah Daerah komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup
penting sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain itu membuka peluang
kerja yang besar bagi Masyarakat setempat yang berada disekitar lokasi
perkebunan yang dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Komoditas perkebunan yang dikembangkan di Kalimantan Tengah tercatat 14 jenis
tanaman, dengan karet dan kelapa sebagai tanaman utama perkebunan rakyat, dan
kelapa sawit sebagai komoditi utama perkebunan besar yang dikelola oleh
pengusaha perkebunan baik sebagai Perkebunan Besar Swasta Nasional/Asing
ataupun PIR-Bun (perusahaan inti rakyat perkebunan) dan KKPA (Kredit Koperasi
Primer untuk Anggotanya). (Zulkifli. 2000)
c.
Sosial Budaya
Pembangunan sebagai proses kegiatan yang berkelanjutan memiliki dampak yang
luas bagi kehidupan Masyarakat. Terhadap kehidupan Masyarakat, dapat membentuk
pengetahuan dan pengalaman yang akan membangkitkan kesadaran bersama bahwa
mereka adalah kelompok yang termaginalisasi dari suatu proses pembangunan atau
kelompok yang disingkirkan dari akses politik, sehingga menimbulkan respon dari
Masyarakat yang dapat dianggap mengganggu jalannya proses pembangunan.
Paradigma
pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan Masyarakat sebagai subjek
pembangunan yang secara dinamik dan kreatif didorong untuk terlibat dalam
proses pembangunan, sehingga terjadi perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan
Masyarakat. Dalam hal ini, kontrol dari Masyarakat terhadap kebijakan dan
implementasi kebijakan menjadi sangat penting untuk mengendalikan hak
pemerintah untuk mengatur kehidupan Masyarakat yang cenderung berpihak kepada
pengusaha dengan anggapan bahwa kelompok pengusaha memiliki kontribusi yang
besar dalam meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan nasional. (Zulkifli. 2000) Contoh implementasi
dari sosial budaya dengan adanya fasilitas untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan
para pekerja, seringkali pihak perkebunan juga mendirikan pusat layanan
kesehatan dan pendidikan terpadu. Walaupun kualitasnya masih di bawah standar,
setidaknya fasilitas tersebut cukup berguna bagi warga sekitar.
2.
Dampak Negatif
Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan angka-angka
pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya untuk
mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal perkebunan kelapa
sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan
Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun
pada areal hutan konversi.
Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan semakin
menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai
produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai maksudnya tadi,
pemerintah banyak membuat program ekspnasi wilayah kebun meski harus
mengkonversi hutan.
Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman
hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga
menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek
konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan
jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak
belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan perkebunan
kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit
diantaranyai:
1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads
konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi
alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
2. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan
land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit,
dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil
peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau
Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang
oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
4. Munculnya hama migran baru yang
sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat
kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena
keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
5. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan
lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara
perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal
ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan
yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
6. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya
perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan
menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat
dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
7. Pencemaran Limbah Industri Kelapa Sawit. Dalam pengelolaan industri kelapa sawit juga
dihasilkan limbah baik yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit maupun yang
dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit.
8. Selanjutnya, praktek konversi
hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi
penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor
Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam
prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan
hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan
lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan
mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and
Lee, 1998).
B.
Solusi dari Permasalahan Pembukaan Perkebunan Kelapa Sawit
Berbagai
penelitian dan kajian, baik dari luar maupun dalam negeri, berbicara mengenai
perkebunan kelapa sawit. Banyak pendapat kontra yang beredar dengan
mengedepankan isu lingkungan dan kesehatan. Namun pendapat dan pembelaan yang
pro -terutama dari pelaku perkebunan sawit- tidak kalah serunya.
Kita harus
meletakkan permasalahan pada porsinya dan melihat apa yang bisa dilakukan untuk
meminimalisir masalah tersebut. Secara jujur juga diakui bahwa perkebunan
kelapa sawit berdampak terhadap lingkungan hidup. Namun pernyataan bahwa
perkebunan kelapa sawit menyerap tenaga kerja dan berperan dalam ekonomi kita
juga merupakan fakta yang tidak bisa kita singkirkan begitu saja.
Informasi
yang jujur dan berimbang mesti dikedepankan agar informasi yang disampaikan
bukan menjadi proses pembodohan masyarakat (baik yang pro maupun kontra), namun
menjadi pertimbangan pemikiran guna menyiapkan antisipasi masalah jangka
panjangnya.
Bagaimanapun
juga, fakta saat ini Indonesia memiliki sudah lahan sawit dengan jumlah
terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan eksportir terbesar tidak hanya
dalam komoditas minyak kelapa sawit, tapi juga pada keseluruhan komoditas
minyak nabati dunia. Dari kelapa sawit ini Indonesia mendapatkan devisa yang
lumayan ditambah dengan penyerapan tenaga kerja. Bahwa terdapat berbagai
masalah yang ada di fakta yang ada seperti kerusakan hutan dan keanekaragaman
hayati, ketahanan pangan serta konflik agraria dan sumber daya alam juga
merupakan fakta yang kesemuanya harus menjadi pijakan dalam mencari solusi yang
terbaik.
Solusi yang
dibuat haruslah berpihak pada kepentingan bersama internal nasional kita. Sebab
pengusahaan perkebunan merupakan kepentingan nasional, terlebih dalam konteks
kelapa sawit dimana kita merupakan penghasil terbesar dan pengekspor terbesar
serta penguasa pasar minyak nabati dunia. Harus dikesampingkan dulu
masalah-masalah tambahan berupa tekanan internasional karena hal tersebut tidak
hanya memperumit masalah yang sudah ada, namun juga dapat merongrong
kepentingan nasional kita. Toh, pemecahan beberapa masalah yang kita hadapai secara
internal, masih terkorelasi dengan tekanan internasional.
a)
Pencemaran Limbah Industri Kelapa Sawit dan
Tata Cara pengelolaanya
Untuk
menghindari masalah lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri kelapa
sawit,maka diperlukan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini didukung
oleh sikap untukmenciptakan produk yang harus berorientasi lingkungan dan harus
dibuat dengan proses yangramah lingkungan (green consumerism) dan menempatkan
lingkungan sebagai non tariff barrier. Oleh karena
itu pendekatan yang banyak diterapkan adalah konsep produk bersih (cleaner
production). (Sastrawijaya,
1991)
Konsep ini
dilakukan dengan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif,
terpadu, dan diterapkan secara terus menerus pada setiap kegiatan mulai dari
hulu hingga hilir yang terkait dengan proses produksi, produk, dan jasa untuk
meningkatkan efesiensi pemakaian sumberdaya alam, mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan dan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya,
sehingga dapat meminimalisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia
serta kerusakan lingkungan. Kata kunci yang diperlukan dalam pengelolaan adalah
menimalkan limbah, analisis daur hidup, teknologi ramah lingkungan.Pola
pendekatan untuk meciptakan produk bersih adalah pencegahan dan meminimalisasi
limbah yang menggunakan hirarki pengelolaan melalui 1E 4R yaitu Elimination
(pencegahan),Reduce (pengurangan), Reuse (penggunaan kembali), Recycle (daur
ulang), Recovery/Reclaim(pungut ulang) (Wardhanu, 2009)
1. Pengelolaan
Limbah Cair Limbah Industri Kelapa Sawit
Industri
kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil pengolahan.
Limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan kelapa sawit dapat berupa
limbah cair dan limbah padat. Limbah cair yang dihasilkan berupa Palm
Oil Mill Effluent (POME) air buangan kondensat (8-12 %) an air hasil
pengolahan (13-23 %). Menurut Djajadiningrat dan Femiola (2004) dari 1 ton
Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dapat dihasilkan 600-700 kg limbah cair.
Bahkan saat ini limbah cair hasil pengolahan kelapa sawit di Indonesia mencapai
28,7 juta ton limbah / tahun. Ketersediaan limbah itu meupakan potensi yang
sangat besar jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Namun sebaliknya akan
menimbulkan bencana bagi lingkungan dan manusia jika pengelolaannya tidak
dilakukan dengan baik dan profesional.
Limbah cair
kelapa sawit dapat menghasilkan biogas dengan melakukan rekayasa. Limbah cair
ditempatkan pada tempat khusus yang disebut bioreaktor. Bioreaktor dapat diatur
sedemikian rupa sehingga kondisinya optimum untuk meproduksi biogas. Selain itu
juga dapat ditambahkan mikroba untuk mempercepat pembentukan gas metan untuk
menghasilkan biogas. Proses tersebut dapat menghasilkan potensi yang sangat
besar. Dari 28,7 juta ton limbah cair kelapa sawit dapat dihasilkan 90 juta m3 biogas
yang setara dengan 187,5 milyar ton gas elpiji (Rahardjo, 2011).
Selain itu
limbah cair dapat juga dimanfaatkan untuk pakan ternak, bahan pembuat sabun,
serta pembuatan biodiesel, dan air sisanya dapat digunakan untuk pengairan bila
telah memenuhi standar baku mutu lingkungan.
2. Pengelolaan
Limbah Padat Limbah Industri Kelapa Sawit
Limbah padat
yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit terdiri atas tandan
kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung / cangkang (7-9
%) (Naibaho, 1996). Tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan pupuk kompos dengan proses fermentasi dan dimanfaatkan kembali untuk
pemupukan kelapa sawit itu sendiri. Penggunaan pupuk tandan kosong kelapa sawit
dapat menghemat penggunaan pupuk kalium hingga 20 %. 1 ton tandan kosong kelapa
sawit dapat menghasilkan 600-650 kg kompos. (Utomo
& Widjaja 2004).
Selain itu
tandan kosong kelapa sawit mengandung 45 % selulose dan 26 % hemiselulose. Tingginya
kadar selulose pada polisakarida tersebut dapat dihidrolisis menjadi gula
sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi bioetanol. Bioetanol ini dapat
digunakan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui
dengan cepat (renewable). 1 ton tandan kosong kelapa sawit
dapat menghasilkan 120 liter bioetanol (Anonim, 2009).
Tandan
kosong kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pulp untuk
pembuatan kertas. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan sabun dan media
budidaya jamur, sehingga dapat menambah pendapatan dan mengurangi limbah padat. (Utomo & Widjaja 2004).
Cangkang dan
serat kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai sumber energi potensial. Cangkang
dan serat kelapa sawit biasanya dibakar untuk menghasilkan energi. Energi yang
dihasilkan oleh pembakaran cangkang dan serat telah mencukupi kebutuhan energi
pengolahan pabrik kelapa sawit. Namun seiring dengan pelarangan pembakaran
cangkang dan serat, maka serat dan cangkang dimanfaatkan untuk keperluan lain.
Cangkang saat ini telah dimanfaatkan untuk pembuatan berikat arang aktif dan
bahan campuran pembuatan keramik. Sedangkan serat dimanfaatkan untuk pembuatan
pupuk. (Utomo & Widjaja 2004).
Sementara
itu limbah yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit berupa pelepah kelapa
sawit dan batang kelapa sawit telah dimanfaatkan sebagai bahan pulp untuk
pembuatan kertas dan perabot. Sedangkan daun dan pelepah kelapa sawit digunakan
untuk pakan ternak ruminansia.
b.) Kerusakan Lingkungan
Dampak
lingkungan tersebut memang cukup mengkhawatirkan. Namun bukan berarti tidak ada
solusi yang bisa dikembangkan guna mengantisipasi dampak tersebut.
Kita harus
mempertimbangkan ulang pembukaan hutan, terutama pada hutan-hutan yang
berfungsi sebagai daerah resapan dan di masa mendatang diproyeksikan sebagai
sumber air untuk infrastruktur pendukung pertanian seperti waduk. Namun memang
diperlukan sinergi supaya semua kebijakan tersebut dapat saling topang.
Konservasi
hutan dalam jangka panjang akan membantu konversi balik lahan sawit menjadi
lahan pertanian jika pasokan air yang mencukupi dari hutan yang terkonservasi
dapat dijaga. Atau dalam konteks perkebunan kelapa sawit itu sendiri, pasokan
air yang mencukupi akan membantu pertumbuhan tanaman kelapa sawit dalam hal
ketersediaan air dalam jangka panjang.
Demikian
juga penggunaan masif pupuk kimia harus mulai dikombinasi dengan pupuk organik
berbasis bioteknologi yang memiliki kadar mikroba penyubur/pembenah tanah.
Penggunaan pupuk kimia yang lebih berorientasi pada pertumbuhan tanaman harus
dikombinasi dengan pupuk organik yang berorientasi pada kesuburan tanah dengan
menjaga proses biologi dan kimia tanah tetap berlangsung. Kesuburan tanah
diharapkan bisa tetap terjaga sehingga tidak hanya menguntungkan bagi tanaman,
namun mencegah proses penggurunan yang terjadi. (Rosmarkam & Yuwono, 2002).
c.) Ancaman Ketahanan Pangan
Dalam konteks ketahanan pangan,
kondisi ini akan mendorong masuknya produk impor untuk komoditas pangan.
Sehingga langsung atau tidak, akan berdampak pada naiknya harga kebutuhan
pangan dan ketergantungan atas pangan dari luar.
Masalah
ketahanan pangan memang tidak bisa hanya dibebankan pada komoditas kelapa sawit
atau komoditas lain perkebunan besar saja. Masalah ini selalu saja menjadi
topik ‘panas’ yang menjadi pekerjaan besar pemerintah. Masalah ini lebih pada
keberpihakan pemerintah pada kesejahteraan petani tanaman pangan.
Subsidi dan
insentif sangat dibutuhkan pada urusan ketahanan pangan. Subsidi bukan hanya
untuk pupuk, namun juga untuk stabilitas dan kepastian harga jual petani.
Bantuan permodalan harus serius diselenggarakan dan bukan hanya sebatas program
kerja dan pernyataan namun benar-benar terealisasi ke bawah dan dirasakan
petani sebagai bentuk perhatian negara/pemerintah. Demikian juga infrastruktur
yang memadai dan terus terpelihara.
Insentif
bagi perkebunan besar harus diberikan untuk mendorong penggunaan lahan-lahan
‘terbengkalai.’ Lahan tidur yang sulit dimanfaatkan pertanian pangan dapat
diinisiasi untuk lahan perkebunan dengan membuat persyaratan yang tegas
mengenai tanggungjawab lingkungan. Misalkan pembukaan perkebunan yang
mensyaratkan adanya reservoir air dan sebagainya. Insentif dapat diberikan
dengan pengurangan pajak, memberikan kemudahan ijin dan perpanjangan HGU dan
sebagainya yang bisa dikalkulasi secara ekonomi oleh pengusaha perkebunan. Tapi
lagi-lagi perlu ditekankan konsistensi atas kebijakan ini. Dan seperti pada
masalah lingkungan hidup, sinergi lagi-lagi diperlukan agar kebijakan ini bisa
menjadi bagian dari strategi besar yang akan dilakukan. Jangan hari ini bicara
insentif, tahun depan kenaikan pajak dan diversifikasi pajak dilakukan. (Sabiham, 2013)
C. Contoh Kasus
Perkebunan Sawit di KALBAR
dan Dampaknya Bagi Lingkungan (Wahyono, 2003).
Program
Lingkungan PBB (UNEP; United Nations Environment Programme) dalam laporannya
berjudul Towards Green Economy menyebutkan, ekonomi hijau adalah ekonomi yang
mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin
menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan
kelangkaan sumber daya alam.Dari definisi yang diberikan UNEP, pengertian
ekonomi hijau dalam kalimat sederhana dapat diartikan sebagai perekonomian yang
rendah karbon (tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan), hemat sumber
daya alam dan berkeadilan sosial.
Secara
teknis, kelapa sawit cocok untuk daerah Kalimantan Barat, karena tidak
mempersyaratkan kesuburan tanah, Hampir sepertiga luas wilayah Kal-bar
sudah dikonversi menjadi wilayah perkebunan sawit. Hasil-hasil dari perkebunan
ini memberikan kontribusi terhadap pembangunan di daerah Kalimantan Barat dan
merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat di Kalbar. Selain bagi
masyarakat, perusahaan pengelolanya juga dapat menghasilkan keuntungan dengan
menjual hasil perkebunan baik melalui pasar domestik maupun pasar global.( Wahyono, 2003).
Karet dan
kelapa sawit merupakan bentuk usaha yang dipilih karena hasil yang sangat
menjanjikan. Sekitar 60% lahan yang ada di Kalimantan Barat kini telah
beralihfungsi menjadi perkebunan. Lahan terluas yang digunakan untuk perkebunan
kelapa sawit di Kalimantan Barat yaitu di kabupaten Sanggau dengan luas
lahan 63.238 Ha, untuk peringkat kedua yaitu di kabupaten Ketapang dengan luas
lahan 49.936 Ha, dan untuk terluas ketiga yaitu kabupaten Sekadau dengan luas
lahan 24.634 Ha.
(Fauzi, dkk 2002)
Dibalik
dampak positif yang dihasilkan oleh perkebunan sawit ini, terdapat pula dampak
negatifnya. Keberadaan perkebunan kelapa sawit skala besar seperti sekarang
ini, mengancam Kalimantan Barat sebagai satu kesatuan ekologis. Juga merusak
keseimbangan alam dan lingkungan, seperti akar dari kelapa sawit sangat sulit
untuk dibersihkan walaupun pohon sawit tersebut telah mati, namun dibutuhkan
waktu bertahun-tahun agar akar dan tanah yang telah ditanami kelapa sawit dapat
digunakan lagi. Selain itu tanah bekas perkebunan kelapa sawit akan menjadi
gersang karena unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah telah habis.
Dari Sambas
menceritakan derita banyak orang karena pembukaan perkebunan sawit. Ada
perusahaan melakukan sosialisasi diam-diam. Bahkan ada sosialisasi, langsung
kemudian penggusuran lahan. Ada banyak lahan kebun dan perkuburan keramat
(kuburan tua) yang digusur untuk perkebunan sawit. Tidak hanya itu, pembukaan
lahan perkebunan kelapa sawit kerap menimbulkan pencemaran diakibatkan asap
hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah,
merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu
yang lama.
Berdasarkan
data Kasdam XII Tanjungpura bahwa konflik lahan yang ada di Kalimantan Barat
cukup kencang saat ini sudah ada 84 kasus yang menyangkut lahan perkebunan.Dari
84 kasus tersebut, biasanya yang paling sering terjadi yaitu masyarakat adat
dengan perkebunan, pemilik lahan dengan pemerintah, perusahaan dengan
pemerintah, masyarakat dengan masyarakat dan karyawan dengan perusahaan. Salah
satu contoh kasus yaitu persoalan di Kawasan Hutan adat Seruat Dua Kecamatan
Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat mengenai konflik antara
masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. Karena masyarakat resah akan lahan yang
telah dirambah untuk perkebunan sawit, hal ini menjadikan mereka akan kesulitan
mendapatkan air tawar pada saat kemarau datang setelah hutan itu gundul
dikarenakan hutan itu adalah sumber air tawar bagi masyarakat.
Hal yang
paling dikritisi adalah pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan skala besar.
Misalnya saja, target untuk luasan pembukaan perkebunan kelapa sawit yaitu 1,5
juta Ha. Kebun yang sudah ditanam dan telah dikelola mencapai 900 ribu hektar. Tetapi
faktanya proses perizinan kini sudah mencapai 4,8- 4,9 juta Ha. Luas perkebunan
yang masih dalam proses perizinan yang jauh lebih luas dari target itu akan
kembali merusak hutan di Kalbar. Target yang 1,5 juta hektar itu sebenarnya
prioritas untuk lahan kritis dan tidak produktif. Tetapi jika izin nanti
melebihi target, bisa dipastikan jika yang diambil itu bukan hanya lahan
kritis. Pasti di dalamnya ada tanah yang masih punya hutan, ada hutan produksi,
dan lahan gambut. Wilayah yang dikelola masyarakat menjadi semakin
sempit.
Sebaiknya
pemerintah melakukan pengecekan terhadap daerah-daerah yang telah melanggar dan
melegalkan proses perizinan yang semestinya lahan itu bukan untuk perkebunan.
Jika beberapa tahun kedepan pembukaan perkebunan masih terus diperluas,
akibatnya akan terjadi bencana alam yang mungkin berujung pada bencana
kemanusiaan. Seharusnya bencana alam dapat dicegah sejak dini, sebagai suatu
harapan agar anak cucu nanti masih dapat melihat betapa indahnya alam yang luas
dan pohon-pohon lebat maka mulai dari sekarang upayakan dalam menerima suatu
perusahaan pertimbangkan matang-matang apa dampak yang ditimbulkan baik dampak
positif maupun negatif.
Untuk itu,
kami rasa perlu adanya sosialisasi tentang green economic di Kalimantan Barat
yang sekarang sedang gencar di lakukan di seluruh Negara. Dengan melihat
permasalahan dari dampak negative yang ditimbulkan dari perkebunan kelapa
sawit, maka kami dapat menyimpulkan beberapa cara untuk meminimalisir kerusakan
lingkungan hutan di Kalimantan Barat.
Berikut cara
untuk mensukseskan Green Economic di Kalimantan Barat, ditengah maraknya
pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit :
1. Memastikan keseimbangan alam
tetap terjadi,yaitu mensinergiskan antara pembangunan dengan keadaan lingkungan
sekitar
2. Pendekatan melalui
budaya dengan melakukan pembinaan terhadap pelaku perkebunan dengan mengadakan
seminar penyampaian prinsip-prinsip pengelolaan perkebunan sesuai standar,
termasuk prinsip tanggung jawab dan konservasi lingkungan
3. Melakukan pengembangan
komoditas lain, selamatkan dan tingkatkan kualitas karet rakyat
4. Melakukan pemberdayaan
partisipatif dengan membangun jejaring yang melibatkan anggota masyarakat
sambil memanfaatkan lahan secara produktif dengan menanam aneka komoditi yang
bernilai ekonomis contohnya mengembangkan komoditas jagung yang sudah mulai
berkembang di Daerah Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya.
5. Penghentian proyek
yang bisa menghancurkan alam sekitar kita
6. Memperkuat kebijakan
soal tata kelola sumberdaya alam yang ada di Kalimantan Barat
7. Melakukan sosialisasi
pentingnya lingkungan hidup melalui berbagai media. Bersikap kritis terhadap
situasi sekarang dan masa depan sambil menggalakkan gerakan cinta lingkungan
8. Pemerintah harus
menghentikan pemberian izin baru untuk perkebunan kelapa sawit, membentuk
lembaga untuk mengawasi (audit) pelaksanaan pengelolaan lingkungan di
perusahaan perkebunan, menerapkan sistem pengelolaan sumber daya alam
Kalimantan Barat secara adil, lestari, dan berbasis kemasyarakatan yang mendukung
keberlangsungan hidup seluruh rakyat Kalimantan Barat.
9. Pihak perusahaan harus
melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan kalangan akademis dalam proses dan
keputusan mengenai AMDAL, membentuk dan mengoptimalkan divisi lingkungan hidup
dalam setiap perusahaan sesuai dengan peraturan yang ada, menyelesaikan
permasalahan-permasalahan perkebunan terhadap pihak-pihak terkait dengan tuntas
dan adil, selain itu pihak perusahaan harus konsisten terhadap aturan
pemerintah serta melaksanakan kesepakatan dengan masyarakat lokal secara jujur.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pembangunan
perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif kalau dilakukan secara
sembarangan. Dampak ini dapat merusak lingkungan, keragaman hayati, dan bahkan
merusak budaya masyarakat setempat. Pembangunan perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan akan melibatkan pemerintah, investor, masyarakat, yang
masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu ada
kemitraan antara ketiga pelaku (stakeholders) bisnis kelapa sawit tersebut.
Pengembangan
perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak
positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat,
meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan pekerjaan,
meningkatkan produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan
konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain
dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara ekologis sistem
monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan,
hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama
nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2010. Studi Sosial Ekonomi Pembangunan Perkebunan Sawit. http://grayluciver.blogspot.com/2011/04/studi-sosial-ekonomi-pembangunan. html
Akses
pada 26 April 2014.
Anonim.
2012. Minyak yang Bersahabat, Solusi Perkebunan Kelapa Sawit. http://www.greenpeace.org/seasia/id/Global/seasia/Indonesia/Forest_Solutions/goodoil.html
Anonim. 2012.
Dampak
Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit. http://edudetik.blogspot.com/2014/01/dampak-pembangunan-perkebunan-kelapa.html
Djajadiningrat,
Surna T dan Famiola, Melia. 2004.Kawasan IndustriBerwawasan lingkungan. Bandung;
Penerbit Rekayasa Sains
Fauzi, Y., Widyastuti, Y. E., Satyawibawa, I.,
& Paeru, R. H. (2002). Kelapa
sawit. Penebar Swadaya Grup.
Purba, J. H. 2011. Dampak Pajak Ekspor CPO
terhadap Industri Minyak Goreng Indonesia. Disertasi Doktor. SPS. IPB.
Bogor
Rahardjo, P. N.
(2011). Studi banding teknologi pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit. Jurnal Teknologi Lingkungan, 10(1).
Risza, I. S. (1994). Kelapa sawit, upaya peningkatan
produktivitas. Kanisius.
Rosmarkam, A., &
Yuwono, N. W. (2002). Ilmu
kesuburan tanah. Kanisius.
Sabiham, S. 2013. Sawit dan Lahan Gambut Dalam
Pembangunan Kebun Kelapa Sawit di Indonesia. Himpunan Gambut Indonesia.
Sastrawijaya,
A.T, 1991, “Pencemaran Lingkungan”, Jakarta: Rineka Cipta
Sipayung, T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak
Sawit. IPB Press. Bogor.
Soetrisno,
Noer. 2008. Peranan Industri Sawit dalam PengembanganEkonomi Regional:
Menuju Pertumbuhan Partisipatif Berkelanjutan.Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Suryana, A. 1986. Integrasi Pasar Suatu
Analisis pada Pasar Internasional Minyak Nabati. JAE 1: 1-9
--------------., 2003b. Prospek Pembangunan Industri
Minyak Goreng di Daerah Riau, dalam Sosiohumaniora, Vol
5 No 1, Maret 2003, hal 68-77. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Suhartiningsih, W., 2003, Membangun Agroindustri
Berbasis Kelapa Sawit, dalam Usahawan Indonesia No 02/TH.XXXII
Februari 2003, hal 53-55,Lembaga Manajemen FE-UI, Jakarta.
Syahza, A., 2002. Potensi Pembangunan Industri Hilir
Kelapa Sawit di Daerah Riau, dalam Usahawan Indonesia,
No. 04/TH XXXI April 2002, hal 45-51. Lembaga Manajemen FE UI. Jakarta.
Tarigan, B dan T. Sipayung. 2011. Perkebunan
Kelapa Sawit Dalam Perekonomian dan Lingkungan Hidup Sumatera Utara. IPB
Press. Bogor
Utomo, B. N., &
Widjaja, E. (2004). Limbah padat pengolahan minyak sawit sebagai sumber nutrisi
ternak ruminansia. Jurnal
Litbang Pertanian, 23(1),
22-28.
Wahyono, T. (2003).
Keragaan konflik pengusahaan lahan pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 11(1),
47-59.
Zulkifli. 2000. Dampak Perdagangan Bebas
terhadap keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit
Dunia. Disertasi Doktor. PPS IPB. Bogor
Komentar
Posting Komentar